Malam itu, markas utama Lantera di Ciganjur dipenuhi suasana sukacita. Tim Jet Tornado, termasuk Bu Atik dan beberapa peneliti inti, berkumpul untuk merayakan keberhasilan presentasi di Expo Senayan. Musik jazz lembut mengalun, dan hidangan sederhana tersaji di meja panjang.
"Bersulang untuk keberhasilan expo dan untuk Jin Terbang kita," Profesor Wayan mengangkat gelasnya.
Semua orang mengangkat gelas, "Untuk Jin Terbang!"
Anto tersenyum malu, masih belum terbiasa menjadi pusat perhatian. Ia mengambil posisi di sudut ruangan, menikmati makanan sambil mengamati yang lain bercengkerama.
"Ini, cobalah," Namira menghampirinya dengan sepiring kerak telor, makanan khas Betawi. "Kudengar ini favoritmu."
Mata Anto berbinar melihat makanan kesukaannya. "Wah, kerak telor! Makasih banget, Namira. Kamu tau aja gue kangen makanan kampung."
"Ayah yang memesan khusus. Ini juga, cobalah. Ini kue favorit ayah, resep khas Bali," Namira tersenyum. "Sebagai apresiasi untuk kerja kerasmu."
Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati hidangan dan keheningan yang nyaman.
"Anto," Namira memecah keheningan. "Ada sesuatu yang harus kamu tahu tentang ayahku... tentang kami."
Anto menatap Namira penasaran. "Apa itu?"
Namira menarik napas dalam. "Kami bukan hanya peneliti biasa di Lantera. Kami adalah anggota organisasi rahasia bernama Singadwirya."
"Singadwirya?" Anto mengulang nama itu. "Seperti... organisasi intelijen?"
"Lebih dari itu," Namira menjelaskan dengan suara pelan. "Singadwirya telah ada sejak zaman Majapahit, bertugas melindungi Nusantara dari ancaman, terutama dari Empat Naga."
"Jadi kalian seperti... agen rahasia?"
Namira tersenyum kecil. "Semacam itu. Ayah adalah salah satu petinggi Singadwirya, meski secara resmi dia hanya profesor peneliti di Lantera. Dan aku... aku baru direkrut secara resmi setahun lalu."
Anto mencoba mencerna informasi ini. "Jadi Jet Tornado..."
"Adalah proyek Singadwirya," Namira mengangguk. "Menggunakan teknologi yang diturunkan dari batu langit."
Sebelum Namira sempat melanjutkan, alarm keamanan berbunyi nyaring. Wajah Profesor Wayan langsung berubah serius.
"Penyusupan!" teriak salah satu staf keamanan. "Di sektor barat!"
Tanpa buang waktu, Anto berlari ke ruangan khusus tempat zirah Jet Tornado disimpan. Dengan cepat, ia mengenakan zirah tersebut, sementara yang lain bersiap untuk protokol darurat.
"Sistem aktif," suara AI Jet Tornado menyala. "Selamat datang kembali, Muhammad Junianto."
Anto, kini dalam zirah Jet Tornado, bergabung dengan tim keamanan Lantera yang sudah bersiaga. Dari komunikator, suara Profesor Wayan terdengar tegang.
"Anto, kamera keamanan mendeteksi setidaknya sepuluh penyusup bersenjata. Mereka mengenakan seragam hitam dengan emblem naga merah."
"Empat Naga," gumam Anto. "Saya akan hadapi mereka, Profesor."
"Hati-hati," peringat Namira melalui komunikator. "Mereka mungkin sudah menyiapkan senjata khusus untuk melawan Jet Tornado."
Anto terbang menyusuri koridor menuju sektor barat. Dari kejauhan, ia melihat kilatan senjata dan mendengar suara tembakan. Para penyusup sedang baku tembak dengan tim keamanan Lantera.
"Jin Terbang datang!" teriak salah satu penyusup saat melihat Anto.
Mereka langsung mengalihkan tembakan ke arah Anto, tapi seperti sebelumnya, peluru-peluru itu memantul dari permukaan zirah. Anto menciptakan pusaran angin yang menghempaskan beberapa penyusup ke dinding, melumpuhkan mereka seketika.
Namun, di tengah pertempuran, sebuah ledakan besar mengguncang gedung. Dari lubang besar di dinding, sosok wanita berambut panjang melangkah masuk dengan anggun, diikuti dua pria bertubuh kekar.
"Akhirnya kita bertemu, Jin Terbang," ucap wanita itu dengan suara dingin. "Atau haruskah kusebut... Jet Tornado?"
Anto waspada. "Siapa kau?"
"Namaku Retina," wanita itu tersenyum tipis. "Dan aku datang untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi milik Empat Naga."
Dengan gerakan cepat, Retina mengeluarkan sebuah senjata aneh dari balik jasnya dan menembakkannya ke arah Anto. Alih-alih peluru, senjata itu melepaskan gelombang energi yang membuat sistem Jet Tornado terganggu.
"Peringatan: Gangguan elektromagnetik terdeteksi," suara AI memperingatkan.
Anto merasakan zirah menjadi berat dan sistem propulsinya melemah. "Apa yang kau lakukan?!"
"Sedikit modifikasi dari teknologi kalian sendiri," Retina tertawa kecil. "Benny, Dartono, tangkap dia."
Kedua pria itu maju dengan senjata serupa. Anto mencoba melawan, menciptakan angin kencang untuk menghempaskan mereka, tapi kekuatannya telah berkurang drastis akibat gangguan elektromagnetik.
Di tengah pertarungan, tiba-tiba hujan lebat turun dari langit-langit yang rusak, disertai petir yang menyambar tepat di antara Anto dan para penyusup.
"Cukup sampai di sini, Empat Naga," suara berat seorang pria terdengar.
Dari balik tirai hujan, muncul sosok pria berpakaian hitam-biru dengan payung besar di tangannya. Hujan seolah tunduk padanya, bergerak mengikuti arahan payungnya.
"Vano," desis Retina. "Anjing Singadwirya selalu datang di saat tidak diundang."
"Dan tikus Empat Naga selalu menyelinap di kegelapan," balas pria bernama Vano itu.
Vano mengayunkan payungnya, menciptakan badai mini yang menghantam Benny dan Dartono hingga terpental. Hujan di sekitarnya berubah menjadi tajam, menyerang para penyusup lain.
Retina menggeram marah. "Ini belum berakhir!" Ia menembakkan senjatanya ke langit-langit, menciptakan ledakan besar yang memicu keruntuhan sebagian atap.
Dalam kekacauan itu, Retina dan anak buahnya mundur dan menghilang, meninggalkan kerusakan besar di markas Lantera Ciganjur.
Vano menghampiri Anto yang masih kesulitan menggerakkan zirahnya. "Kau pasti pilot Jet Tornado. Profesor Wayan sudah menceritakan tentangmu."
"Kau... bisa mengendalikan hujan?" tanya Anto takjub.
Vano mengangguk singkat. "Batu langit memberikan kemampuan berbeda pada setiap penggunanya. Milikku adalah manipulasi awan dan hujan."
Sebelum percakapan mereka berlanjut, tim medis Lantera bergegas masuk, membawa beberapa anggota keamanan yang terluka.
"Ada korban!" teriak salah satu tim medis. "Dua staf terluka parah, perlu evakuasi segera!"
Hati Anto mencelos mendengar ada korban. Ini pertama kalinya serangan Empat Naga menimbulkan korban serius di pihak Lantera.
Profesor Wayan dan Namira bergabung dengan mereka, wajah mereka muram melihat kerusakan yang terjadi.
"Ini semakin berbahaya," ucap Profesor Wayan. "Mereka semakin nekat."
"Dan semakin terorganisir," tambah Vano. "Retina tidak pernah turun tangan langsung sebelumnya. Ini menunjukkan betapa pentingnya Jet Tornado bagi rencana mereka."
Anto, yang kini sudah bisa melepas zirah setelah sistem pulih, menatap kerusakan di sekitarnya dengan perasaan bersalah. "Ini salah saya. Saya tidak cukup kuat untuk melindungi tempat ini."
"Bukan salahmu, Anto," Namira menenangkan. "Kita semua tidak menyangka mereka akan menyerang secara frontal seperti ini."
"Tapi ada korban," Anto menggeleng sedih. "Orang-orang terluka karena saya tidak bisa melindungi mereka."
"Justru itulah mengapa kita harus lebih serius sekarang," kata Profesor Wayan tegas. "Tidak ada lagi latihan ringan. Kita harus mempersiapkan diri untuk konfrontasi yang sebenarnya."
Vano mengangguk setuju. "Dan kita perlu informasi lebih banyak tentang rencana Empat Naga. Aku akan menyusup ke dalam organisasi mereka untuk mencari tahu."
"Itu terlalu berbahaya," protes Namira.
"Ini tugasku," jawab Vano tenang. "Sementara itu, kalian perlu meningkatkan keamanan dan kemampuan Jet Tornado."
Anto menatap Vano dengan penuh tekad. "Ajari saya cara melawan mereka. Saya tidak ingin ada korban lagi."
Vano menatap Anto sejenak, seolah menilai tekadnya, lalu mengangguk. "Baiklah. Mulai besok, kita akan latihan bersama. Tapi ingat, Jin Terbang, pertarungan ini bukan hanya tentang kekuatan, tapi juga strategi."
Di markas Empat Naga di Jakarta Pusat, Retina menatap berita di televisi yang melaporkan "serangan teroris" di fasilitas penelitian di pinggiran Jakarta. Berita itu tidak menyebutkan Lantera atau Jin Terbang, menandakan bahwa pemerintah berusaha menutup-nutupi kejadian sebenarnya.
"Mereka semakin protektif terhadap Jin Terbang mereka," gumam Retina.
Teleponnya berdering. Nama "Fard" tertera di layar.
"Ya, Tuan Fard," jawab Retina.
"Aku mendengar tentang penyerangan itu," suara Fard terdengar tidak senang. "Terlalu gegabah dan tidak menghasilkan apa-apa."
"Maafkan saya," Retina menyahut Fard dengan nada dingin dan datar. "Tapi saya telah mengumpulkan data penting tentang kelemahan Jet Tornado."
"Oh?" nada Fard terdengar tertarik.
"Zirah itu rentan terhadap gangguan elektromagnetik frekuensi tertentu. Dan saya juga mengidentifikasi kandidat potensial untuk Black Liquid," lanjut Retina.
"Siapa?" tanya Fard.
"Asisten peneliti yang tampil bersama putri Profesor Wayan di expo. Ada sesuatu yang familiar tentangnya, dan intuisiku mengatakan dia memiliki hubungan dengan Jin Terbang."
Terdengar jeda sejenak sebelum Fard kembali berbicara. "Selidiki lebih lanjut tentang orang ini, tapi jangan bertindak gegabah. Fokus utamaku saat ini adalah mempercepat produksi robot di Bandung. Kalau Black Liquid berhasil diaktifkan, kita akan memiliki dua senjata ampuh sekaligus."
"Saya mengerti," angguk Retina. "Bagaimana dengan Singadwirya? Agen hujan mereka, Vano, muncul dalam pertempuran."
"Vano?" suara Fard terdengar terkejut. "Ini semakin menarik. Singadwirya mengerahkan aset terbaik mereka, yang berarti mereka menganggap kita sebagai ancaman serius."
"Apa yang harus saya lakukan dengan dia?"
"Biarkan dia," jawab Fard. "Vano bisa berguna untuk kita. Dia mungkin akan membawa informasi yang kita butuhkan tanpa sadar. Fokus saja pada Jin Terbang dan Black Liquid."
Setelah menutup telepon, Retina berjalan ke ruangan pribadinya. Di sana, sebuah pigura foto terpajang di meja—foto lama dirinya bersama seorang pria yang tak lain adalah Profesor Wayan Santosa, keduanya tampak bahagia dengan latar belakang laboratorium.
"Kau memilih jalan yang salah, Wayan," gumam Retina sambil menyentuh foto itu. "Dan putrimu akan membayar akibatnya."
Keesokan paginya, Anto berangkat ke toko elektronik Haji Udin seperti biasa. Meskipun fisiknya lelah setelah pertarungan semalam, ia berusaha tampil normal untuk menjaga identitasnya.
"Wah, muka lo kusut amat, To," komentar Bang Doddy begitu Anto tiba. "Begadang nonton bola ya?"
"Iya nih, Bang. Kagak bisa tidur semalem," Anto berbohong.
Mbak Renny menyodorkan secangkir kopi. "Ini, Mas. Biar segar."
"Makasih, Mbak," Anto tersenyum, menerima kopi itu dengan tangan yang sedikit gemetar—efek samping dari terserang senjata Retina dan menggunakan Jet Tornado terlalu lama semalam.
"Eh, lo udah denger berita pagi ini?" tanya Kang Adang sambil menunjuk televisi di sudut toko. "Ada serangan teroris katanya."
Anto pura-pura tertarik. "Serangan dimana, Kang?"
"Di pinggiran Jakarta. Gak jelas sih detailnya, pemerintah nutup-nutupin," Kang Adang menggelengkan kepala. "Tapi ada yang bilang itu markas rahasia militer."
"Wah, parah dong," komentar Anto, berusaha terdengar biasa.
"Yang lebih seru lagi," tambah Bang Doddy dengan suara berbisik, "gue denger dari temen gue yang kerja di sekitar sana, katanya Jin Terbang muncul lagi!"
"Masa sih?" Anto berpura-pura terkejut.
"Iya! Terus katanya kali ini Jin Terbang gak sendirian. Ada orang yang bisa ngendaliain hujan juga!" lanjut Bang Doddy bersemangat.
"Ah, itu mah pasti hoax," Pak Haji Udin yang baru datang ikut dalam percakapan. "Mana ada jin yang bisa terbang, apalagi ngendaliin hujan. Pasti cuma teknologi canggih."
"Tapi Pak Haji, banyak saksi mata yang liat sendiri," protes Bang Doddy.
"Udah, udah," Pak Haji mengibaskan tangan. "Kerjaan aja yang bener. Ada TV rusak yang harus diperbaiki hari ini."
Sementara Bang Doddy dan Kang Adang kembali bekerja sambil terus mendiskusikan teori-teori tentang Jin Terbang, Anto menatap layar televisi yang menampilkan rekaman lokasi serangan—markas Lantera Ciganjur yang rusak berat. Hatinya terasa berat memikirkan orang-orang yang terluka dalam serangan itu.
Ponselnya bergetar. Pesan dari Namira: "Latihan jam 7 malam di lokasi baru. Vano sudah siap. Hati-hati, kita diawasi."
Anto menatap sekeliling toko dengan waspada. Apakah Empat Naga sudah melacaknya hingga ke sini? Apakah identitasnya masih aman?
Di sisi lain kota, di kantor polisi pusat, Inspektur Sardi menatap berkas-berkas tentang serangan semalam dengan dahi berkerut. Sebagai kepala unit khusus keamanan nasional, ia mendapat akses ke informasi yang tidak diketahui publik.
"Jin Terbang lagi," gumamnya kesal. "Dan sekarang ada 'Pria Hujan'? Ini semakin kacau."
Asistennya menyerahkan folder bertuliskan "RAHASIA" dengan logo Singadwirya.
"Laporan terbaru dari intelejen, Pak," kata asistennya. "Ada indikasi Empat Naga berencana melakukan serangan besar dalam waktu dekat."
Sardi membuka folder itu dan membacanya dengan saksama. "Hmm, pabrik robot di Bandung?"
"Benar, Pak. Tampaknya mereka mempersiapkan pasukan robot untuk menyerang Jakarta."
Sardi menutup folder dengan kasar. "Aku tidak percaya informasi ini. Singadwirya dan 'pahlawan super' mereka itu sama bahayanya dengan Empat Naga. Mereka bermain-main dengan kekuatan yang tidak mereka pahami."
"Tapi Pak, bukankah sebaiknya kita—"
"Kita akan menyelidiki ini dengan cara kita sendiri," potong Sardi tegas. "Aku tidak akan membiarkan negara ini dikuasai oleh orang-orang bertopeng atau organisasi rahasia manapun. Kita adalah polisi, dan kita yang akan menegakkan hukum."
Sardi berdiri dan menatap ke luar jendela, ke arah kota Jakarta yang tampak damai dari kejauhan. "Jin Terbang, Empat Naga, Singadwirya... mereka semua harus bertanggung jawab atas kekacauan ini."
BERSAMBUNG... KE CHAPTER 4!
Komentar
Posting Komentar