Jin Terbang Chapter 3 Part 1: Bahaya yang Mengintai



Jin Terbang Chapter 3 Part 1:

Satu bulan telah berlalu sejak insiden di Lantera Expo Kemayoran. Media massa masih ramai membicarakan sosok misterius yang dijuluki "Jin Terbang" oleh masyarakat. Berbagai spekulasi bermunculan, dari teori konspirasi hingga klaim bahwa Jin Terbang adalah proyek rahasia militer Indonesia.

Di fasilitas rahasia Lantera yang terletak di kawasan Ciganjur, pinggiran Jakarta Selatan, Profesor Wayan Santosa mematikan televisi yang sedang menyiarkan berita tentang Jin Terbang dan menoleh pada Anto yang sedang berlatih dengan simulator Jet Tornado.

"Konsentrasi, Anto," ucap Profesor Wayan. "Manipulasi udara bukan hanya tentang kekuatan, tapi juga presisi."

Anto mengangguk serius. Selama sebulan terakhir, ia telah menjalani pelatihan intensif dengan Jet Tornado. Setiap malam selepas bekerja di toko elektronik Haji Udin, Anto secara diam-diam pergi ke fasilitas rahasia Lantera di Ciganjur untuk berlatih.

"Saya mencoba, Profesor," jawab Anto sambil mengatur napasnya. "Tapi kadang sulit mengontrol intensitas anginnya."

"Itulah kenapa kau perlu latihan," suara seorang wanita muda terdengar dari pintu laboratorium.

Anto menoleh dan melihat seorang wanita muda berkulit sawo matang dengan rambut hitam panjang yang dikuncir rapi. Ia mengenakan jas lab dengan logo Lantera di dadanya.

"Ah, Namira," Profesor Wayan tersenyum pada putrinya. "Bagaimana persiapan untuk Expo Senayan?"


Putu Namira, atau yang lebih akrab disapa Namira, mendekati mereka dengan tablet di tangannya. "Semuanya berjalan sesuai rencana, Ayah. Keamanan sudah diperketat, dan kita juga telah menyiapkan rencana evakuasi darurat jika terjadi hal yang tidak diinginkan."

Anto masih belum terbiasa dengan kehadiran Namira. Putri Profesor Wayan ini baru bergabung dengan Tim Jet Tornado seminggu lalu, setelah mengundurkan diri dari pekerjaannya di perusahaan teknologi Australia. Meski baru berusia 24 tahun, Namira telah menunjukkan keahlian luar biasa dalam bidang rekayasa dan strategi.

"Kamu butuh istirahat, Anto," kata Namira, menatap Anto dengan senyum tipis. "Kamu terlihat lelah."

"Ah, saya baik-baik saja, Mbak Namira," jawab Anto, sedikit salah tingkah. Ada sesuatu dari Namira yang selalu membuatnya gugup.

"Jangan panggil aku 'Mbak'," Namira tertawa kecil. "Aku bahkan lebih muda darimu."

"M-maaf, kebiasaan," Anto menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Orang Betawi mah suka begini, suka sopan-sopan berlebihan," ucapnya pelan, membuat Namira terkekeh geli.

Profesor Wayan tersenyum melihat interaksi mereka. "Baiklah, cukup untuk hari ini. Anto, kamu boleh pulang dan beristirahat. Besok kita akan melanjutkan latihan dengan fokus pada pertahanan."

Anto mengangguk, lalu bergegas berganti pakaian dan bersiap pulang. Sejak bergabung dengan Tim Jet Tornado, hidupnya berubah drastis. Ia kini memiliki tanggung jawab besar sebagai pilot zirah Jet Tornado, sambil tetap bekerja di toko elektronik untuk menjaga identitasnya tetap rahasia.


Dalam beberapa minggu berikutnya, di bawah bimbingan Profesor Wayan dan Namira, Anto mulai memberanikan diri untuk melakukan aksi-aksi kecil sebagai Jin Terbang. Bukan hanya berlatih di fasilitas rahasia, tapi juga menerapkan kemampuannya dalam situasi nyata.

Suatu malam di kawasan Pasar Minggu, Anto mengenakan zirah Jet Tornado untuk menghentikan perampokan mini market. Dengan gerakan cepat dan presisi, ia membuat angin kencang yang menerbangkan senjata dari tangan perampok, membuat mereka panik dan lari tunggang langgang.


"Mantep bener dah," gumam Anto dalam zirahnya saat melihat perampok-perampok itu kabur ketakutan. "Kagak usah banyak ngomong juga udah pada ngacir."

Di malam lain, di kawasan Manggarai, ia membantu memadamkan kebakaran di sebuah pemukiman padat penduduk. Dengan manipulasi udaranya, Anto mengendalikan api agar tidak menyebar sambil membantu evakuasi warga.

"Alhamdulillah kebakarannya bisa dikendalikan," bisik Anto pada dirinya sendiri, merasakan kebahagian melihat wajah lega para warga.

Ia juga pernah menggagalkan upaya penculikan di daerah Kemang, membebaskan seorang anak kecil dari mobil penculik dengan menciptakan tornado mini yang membuat mobil tersebut oleng dan berhenti.

Media mulai meliput aksi-aksi ini, membuat sosok Jin Terbang semakin terkenal di kalangan masyarakat Jakarta. Beberapa menyebutnya pahlawan, beberapa lagi menyebutnya vigilante alias tukang main hakim sendiri yang berbahaya.

Di kantor polisi pusat, Inspektur Sardi dengan geram membaca laporan demi laporan tentang aksi Jin Terbang. "Dia main hakim sendiri," gerutunya pada asistennya. "Tidak peduli niatnya baik, ini melanggar hukum."

Sementara itu, penduduk lokal Jakarta, terutama dari kalangan Betawi, mulai membanggakan Jin Terbang sebagai "jawara modern" yang melindungi kota mereka.

"Jin Terbang tuh emang asli anak Jakarta," komentar seorang pedagang lenong saat diwawancarai televisi lokal. "Liat aja gerakannya, kaya ondel-ondel terbang. Pasti anak Betawi tulen!"


Anto hanya bisa tersenyum mendengar komentar-komentar itu saat menonton berita di kontrakannya. "Gue mah cuma pengen bantu," gumamnya. "Kagak nyangka bakal jadi terkenal begini."


Pada hari berikutnya, saat Anto hendak meninggalkan fasilitas rahasia Lantera, Namira menyusulnya di lorong.

"Anto, tunggu," panggilnya.

Anto berhenti dan berbalik. "Ya, mb-eh-Namira?"

"Besok adalah gladi bersih untuk presentasi di Expo Senayan," kata Namira. "Ayah ingin kamu datang untuk latihan terakhir. Kamu... akan jadi bagian penting dari presentasi."

"Saya?" Anto terkejut. "Tapi bukankah identitas saya dan keberadaan Jin Terbang harus dirahasiakan?"

Namira tersenyum misterius. "Kamu akan tampil sebagai teknisi Lantera, bukan sebagai Jin Terbang. Tapi kamu akan membantu demonstrasi beberapa teknologi yang terinspirasi dari Jet Tornado."

"Oh," Anto mengangguk paham. "Baiklah, besok saya akan datang."

"Bagus," Namira menepuk pundak Anto pelan. "Kamu sudah berkembang pesat, Anto. Ayah sangat terkesan, dan aku juga."

Wajah Anto memerah mendengar pujian itu. "Te-terima kasih. Saya masih harus banyak belajar."


"Tentu saja," Namira tertawa. "Tapi kamu memiliki bakat alami. Sampai besok, Jin Terbang."

Dengan itu, Namira berbalik dan kembali ke laboratorium, meninggalkan Anto yang masih terpaku di tempatnya.

"Duh, gue kagak ngerti lagi ama nih cewek," batin Anto. "Kenapa tiap dia ketawa, perut gue rasanya kaya digelitik ondel-ondel?"


Jauh dari markas Lantera, di sebuah gedung tinggi di Jakarta Pusat, seorang wanita berdiri menghadap jendela besar yang menampilkan panorama kota di malam hari. Rambutnya yang hitam panjang tergerai bebas hingga pinggang, kontras dengan setelan jas hitam ketat yang dipakainya.

"Bagaimana perkembangannya, Benny?" tanya wanita itu tanpa menoleh.

Seorang pria bertubuh kekar dengan bekas luka di wajahnya, mengenakan setelan jas hitam ala mafia, membungkuk hormat. "Lantera akan mengadakan expo di Senayan tiga hari lagi, Nona Retina. Menurut informan kita, mereka akan memamerkan teknologi baru yang terinspirasi dari Jet Tornado."

Retina, pimpinan Empat Naga untuk wilayah Jakarta yang sedang dipromosikan menjadi wakil pimpinan utama organisasi, tersenyum tipis. "Profesor Wayan memang cerdik. Dia tak mungkin memamerkan Jet Tornado yang asli, tapi pasti akan memberi petunjuk tentang teknologinya."

"Apa rencana kita, Nona?" tanya Benny.

"Kita akan hadir di expo itu," jawab Retina tenang. "Tapi tidak akan menyerang secara terbuka. Kita akan mengamati, mengumpulkan informasi, dan mencari kelemahan mereka."

Dari sudut ruangan, seorang pria kurus dengan kacamata tebal angkat bicara. "Nona, saya sudah menemukan beberapa kandidat potensial untuk proyek kita."

"Bagus, Dartono," Retina menoleh. "Siapa saja mereka?"

Dartono menyerahkan tablet berisi profil beberapa orang. "Semuanya memiliki latar belakang militer atau sains, dan memiliki motif kuat untuk melawan pemerintah."

Retina mengamati profil-profil itu dengan saksama. "Hmm, menarik. Tapi aku ingin seseorang yang istimewa, seperti pilot Jet Tornado itu. Seseorang dengan insting alami."

"Kami akan terus mencari, Nona," angguk Dartono.

Retina kembali menatap pemandangan kota. "Pimpinan tertinggi menginginkan kemajuan cepat dari kita. Sementara Fard fokus menjaga pabrik robot di Bandung, kita harus berhasil menemukan cara untuk mengalahkan Jin Terbang atau merebut teknologinya."

"Bagaimana dengan... masa lalu Anda dengan Profesor Wayan?" tanya Benny hati-hati.

Wajah Retina mengeras. "Itu adalah kartu as kita. Wayan mungkin mendedikasikan hidupnya untuk Singadwirya sekarang, tapi dia punya kelemahan. Dan aku tahu persis apa itu."


Keesokan harinya, Anto tiba di markas Lantera untuk mengikuti gladi bersih presentasi. Ia disambut oleh Bu Atik yang kini juga menjadi bagian dari Tim Jet Tornado.

"Pagi, Anto," sapa Bu Atik ramah. "Namira sudah menunggu di ruang persiapan. Mari, ikut saya."

Anto mengikuti Bu Atik melintasi lorong-lorong markas hingga tiba di sebuah ruangan luas dengan panggung mini yang mirip dengan setting yang akan digunakan di Expo Senayan.

Di sana, Namira sedang memberikan arahan kepada beberapa staf Lantera. Ketika melihat Anto, ia tersenyum dan menghampirinya.

"Tepat waktu," kata Namira. "Ayo, kita mulai latihan presentasinya."


Selama beberapa jam berikutnya, Anto berlatih untuk presentasi besok. Ia akan berperan sebagai asisten teknis yang membantu demonstrasi teknologi manipulasi udara dalam skala kecil—tentu saja tanpa mengungkapkan bahwa teknologi itu berasal dari Jet Tornado.

"Ingat, ketika aku bertanya tentang prinsip manipulasi molekul udara, kamu jawab dengan singkat dan sederhana," instruksi Namira.

Anto mengangguk, mencoba mengingat semua dialognya. "Saya mengerti."

Setelah latihan yang melelahkan, mereka beristirahat sejenak. Namira menyodorkan sebotol air mineral kepada Anto.

"Kamu melakukannya dengan baik," puji Namira. "Untuk orang yang tidak pernah tampil di depan umum, kamu cukup natural."

"Terima kasih," Anto meneguk air mineralnya. "Tapi saya masih gugup membayangkan harus bicara di depan ratusan orang besok."

"Jangan khawatir," Namira menenangkan. "Anggap saja kamu sedang menjelaskan cara kerja TV kepada pelanggan di toko Pak Haji."

Anto tertawa. "Ya, bedanya pelanggan toko tidak sebanyak pengunjung expo."

"Gue aja udah biasa ngadepin Bang Doddy yang cerewet, masa ngadepin penonton doang takut," gumamnya pelan, menyemangati diri sendiri.

Mereka berdua tertawa, menciptakan momen ringan di tengah keseriusan persiapan. Anto menatap Namira, terpesona dengan tawa dan kecerdasannya. Ada sesuatu dari putri Profesor Wayan ini yang membuatnya nyaman sekaligus gugup.


"Ngomong-ngomong," Anto memberanikan diri untuk bertanya, "kenapa kamu memutuskan untuk kembali ke Indonesia? Ayahmu cerita kamu punya karier bagus di Australia."

Wajah Namira berubah serius. "Ketika aku mendengar tentang serangan di Lantera Expo dan munculnya Jin Terbang, aku tahu sesuatu besar sedang terjadi. Ayah selalu bercerita tentang proyek-proyeknya, tapi Jet Tornado berbeda. Ini bukan hanya tentang teknologi, tapi tentang melindungi negara kita."

"Dari Empat Naga?" tanya Anto.

Namira mengangguk. "Mereka lebih berbahaya dari yang kamu bayangkan, Anto. Empat Naga telah ada sejak zaman Majapahit, selalu berusaha mengacaukan Nusantara demi kepentingan mereka sendiri."

"Zaman Majapahit?" Anto terkejut. "Organisasi seumur itu?"

"Ya, dan mereka bukan organisasi kriminal biasa," jelas Namira. "Mereka mengincar sesuatu yang sangat kuat, yang disebut 'batu langit'."

"Batu langit?" Anto semakin penasaran. "Apa itu?"

Sebelum Namira sempat menjawab, Profesor Wayan masuk ke ruangan dengan tergesa-gesa.

"Namira, Anto, kalian harus melihat ini," katanya sambil menyalakan layar besar di dinding.

Layar menampilkan berita tentang serangan misterius di beberapa lokasi di Jakarta. Bangunan-bangunan hancur dengan pola yang sama—seperti terkena hembusan angin super kuat.

"Ini bukan serangan biasa," kata Profesor Wayan dengan wajah serius. "Ini seperti... manipulasi udara."

"Seperti Jet Tornado?" tanya Anto kaget.

"Tidak persis sama," Profesor menggeleng. "Tapi prinsipnya mirip. Seseorang di luar sana memiliki teknologi serupa, dan menggunakannya untuk menimbulkan kekacauan."

"Empat Naga," desis Namira.

Profesor Wayan mengangguk. "Kemungkinan besar. Mereka mengirim pesan untuk kita, untuk Jin Terbang."

Anto menatap layar dengan cemas. "Saya harus melakukan sesuatu, Profesor. Saya tidak bisa membiarkan mereka melukai orang-orang tak bersalah."

"Tidak sekarang," jawab Profesor tegas. "Ini mungkin jebakan untuk memancingmu keluar. Kita harus berhati-hati dan bertindak dengan strategi."

"Tapi, Profesor—"

"Ayah benar, Anto," potong Namira. "Saat ini prioritas kita adalah Expo Senayan. Jika kita bertindak gegabah, kita bisa mengancam seluruh operasi Lantera."

Dengan berat hati, Anto mengangguk setuju. Tapi dalam hatinya, ia merasa bersalah membiarkan kekacauan terjadi sementara ia memiliki kekuatan untuk menghentikannya.

"Sabar, Nto," bisiknya pada diri sendiri. "Kadang main pahlawan juga butuh strategi."


Tiga hari kemudian, Lantera Expo di Senayan resmi dibuka. Ribuan pengunjung memadati area pameran untuk melihat teknologi-teknologi terbaru yang dipamerkan Lantera. Di antara kerumunan, banyak yang berbisik-bisik berharap Jin Terbang akan muncul.

"Katanya Jin Terbang itu proyek rahasia Lantera," bisik seorang pengunjung. "Aku dengar dia akan tampil di expo ini," timpal yang lain. "Masa sih? Aku pikir itu cuma hoax," sangkal temannya.

Di belakang panggung utama, Anto merapikan kemeja dan jas Lantera yang dipinjamkan kepadanya untuk presentasi. Jantungnya berdebar kencang memikirkan bahwa ia akan tampil di depan ratusan, bahkan mungkin ribuan orang.

"Gugup?" Namira muncul di sampingnya, mengenakan blazer putih dengan logo Lantera.

"Banget," aku Anto. "Duh, tangan gue aja sampe gemeteran nih."

Namira tersenyum menenangkan. "Kamu akan baik-baik saja. Ingat saja semua yang kita latih kemarin."

"Dan jika aku lupa dialognya?"

"Improvisasi," Namira mengedipkan mata. "Kamu pilot Jet Tornado, ingat? Presentasi kecil ini tidak sebanding dengan menghadapi penyusup bersenjata."

Anto tertawa kecil, merasa sedikit lebih tenang. "Kamu benar."

Tak lama kemudian, MC mengumumkan presentasi berikutnya: "Teknologi Manipulasi Udara: Masa Depan Energi Indonesia" oleh Tim Riset Lantera.

Namira dan Anto naik ke panggung bersama dua peneliti Lantera lainnya. Dengan percaya diri, Namira memulai presentasi tentang bagaimana teknologi manipulasi molekul udara dapat digunakan untuk berbagai keperluan, dari pembangkit listrik hingga pengendalian cuaca mikro.

"Dan sekarang, saya akan meminta asisten saya, Anto, untuk mendemonstrasikan prototipe mini pengendali udara kami," Namira mengisyaratkan Anto untuk maju.


Dengan sedikit gugup, Anto melangkah ke depan dan mulai menjelaskan prinsip kerja alat tersebut—yang sebenarnya adalah versi sangat disederhanakan dari teknologi Jet Tornado. Ia mengoperasikan alat itu, menciptakan pusaran udara kecil yang mengangkat bola-bola ringan di atas meja.

Penonton bertepuk tangan kagum. Beberapa mulai berbisik lagi tentang Jin Terbang, menebak-nebak apakah teknologi yang dipamerkan ini ada hubungannya dengan sosok misterius tersebut.

Di antara kerumunan, tanpa sepengetahuan tim Lantera, Retina mengamati presentasi dengan seksama. Di sampingnya, Benny dan Dartono juga mencatat setiap detail. Mereka juga diam-diam memotret semua staf Lantera yang terlibat presentasi, termasuk Anto.

"Lihat pria itu," bisik Retina, merujuk pada Anto. "Ada sesuatu yang familiar tentangnya."

"Ingin saya selidiki, Nona?" tanya Benny.

"Tidak sekarang," Retina menggeleng. "Tapi simpan wajahnya dalam ingatan. Dia mungkin bisa berguna untuk kita."

Setelah presentasi selesai, pengunjung membubarkan diri dengan sedikit kecewa karena tidak ada penampakan Jin Terbang seperti yang mereka harapkan. Namun, presentasi Namira dan Anto mendapat sambutan sangat positif dari media dan pengunjung.

"Kamu melakukannya dengan sangat baik," puji Profesor Wayan yang menunggu di belakang panggung. "Sangat natural dan meyakinkan."

"Terima kasih, Profesor," Anto tersenyum lega. "Saya tidak menyangka akan semulus itu."

"Ini pantas dirayakan," usul Namira. "Bagaimana kalau kita adakan pesta kecil di markas Ciganjur nanti malam?"

"Ide bagus," setuju Profesor. "Kita juga bisa membahas strategi selanjutnya untuk menghadapi ancaman baru."

Anto mengangguk setuju, senang dengan keberhasilan presentasi dan prospek merayakannya bersama tim.

Namun, tanpa mereka sadari, bahaya sedang mengintai.


BERSAMBUNG... KE CHAPTER 3 PART 2!


Ide cerita, nama karakter oleh Riantrie
Desain visual di-generate oleh AI, belum menjadi rancangan yang mutlak dan konsisten.
Disclaimer: Cerita ini hanya bersifat pengenalan karakter dan atmosfer yang dibangun. Dialog serta beberapa narasi melibatkan AI dengan sentuhan manusia, menggunakan prompt yang detail dan orisinal dari satu adegan ke adegan lain.

Komentar